Reader Mode

NAPAS FATAMORGANA

Leny Marlyna  | 26 Ags 2024  | 96 views  |

NAPAS FATAMORGANA,

Penulis: Leni Marlyna  (pembina penggiat Literasi)

 

 

Dalam 365 hari yang baru saja dimulai, seperti mimpi namun nyata, lembaran-lembaran lama itu sudah tertutup rapi. Begitu pun dengan cerita yang entah sampai kapan endingnya akan ditemukan, entah itu suka entah itu duka. Kilas balik satu tahun ke belakang bukan sebuah hal mudah seperti melewati jembatan dengan jarak satu meter. Namun mengingatnya membutuhkan waktu, waktu untuk tahu dan waktu untuk mengerti mengapa hal itu terjadi.

 

Setiap pagi dengan senang langkah kaki ku berderap, menyusuri setiap koridor sekolah hingga akhirnya tiba waktu pulang ke rumah. Sebuah singgasana yang sederhana dengan kehangatan yang nyaman, untuk saat itu dan bukan sekarang. Kalau saja semua kisah hidup bisa tertuang mungkin buku itu sudah lebih dari sepuluh ribu lembar dan tak kisahnya bisa dibaca singkat.

 

Tepat hari itu, Selasa 24 Januari 2023, hal pahit yang harus ku telan meski nyatanya sangat sulit. Relung hati ini tak mampu menerima walau nyatanya semesta sedang tidak bercanda. Sakit? Tentu saja. Rasanya tak mampu ku utarakan meski itu seluas cakrawala yang membentang. Bukan bermaksud untuk hiperbolis namun seperti itulah kenyataannya. Jika jarum jam bisa berputar balik tentu akan ada banyak hal yang ingin ku lakukan, untuk menghindari hal itu meski nyatanya itu garis hidup yang harus ku tempuh.

 

Jika angin bertanya.

 

“Hai, kenapa kau murung sedangkan aku berusaha membuatmu nyaman?"

 

Tak akan ada kata lain selain berkata bahwa kita baik-baik saja. Kadang berbohong demi menutupi kesedihan jauh lebih nyaman walau nyatanya amat sesak untuk ditahan.

                                      ...

 

Sebagian orang sering menganggapku biasa saja, bukan ingin dianggap pahlawan bahkan orang penting di dunia ini, hanya ingin mendapat rasa yang cukup ketika hati ini pilu. Itu saja...

 

"Kenapa harus itu? Kenapa tidak yang lain?”

 

Hati ku berceloteh. Banyak pertanyaan yang ku pendam, banyak jawaban yang harus ku tahu, namun itu semua berubah menjadi angin lalu.

 

Tanpa sadar air mata yang selama ini membuatku bertahan perlahan tumpah, melewati pipi indah yang menjadikan ku selalu tersenyum, sakit. Suara ku tersekat, entah mengapa aku ta mampu untuk berteriak sekencang mungkin. Bahkan aku ingin teriakanku didengar orang lain walau terkadang harus bersautan dengan gemuruh petir yang mengantarkan hujan.

 

Alih-alih tentang hujan, dia begitu sabar, rela jatuh walau kita tahu itu sakit namun karenanya banyak orang di dunia ini yang bahagia dengan kehadirannya. Dari hal itu aku banyak belajar, membuat bahagia orang lain tidak selalu dengan harta namun hak sederhana yang sulit itu mampu membuat orang bahagia walau kita harus merasakan sakit.

 

"Dalam senja yang indah aku belajar bagaimana caranya berpamitan dengan indah..”

                                     ...

                                    

Di menit ke-720 hal pahit itu membuatku sadar tak ada hal yang bisa ku lakukan selain mengeluarkan titisan-titisan air mata yang enggan berhenti. Tak ada hal yang harus ku jadikan alasan untuk rapuh meski kenyataanya itu benar-benar terjadi. Kadang kala aku ingin melawan, aku ingin berteriak sekencang mungkin, namun itu mustahil.

 

Aku selalu berusaha untuk tersenyum namun percayalah, banyak penyesalan yang selalu berputar di pikiran ini. Menghindarinya sulit, melupakannya enggan, harus bagaimana?

 

  “Jika hari ini tak bahagia, mungkin besok bahkan lusa,”