NAPAS FATAMORGANA
NAPAS
FATAMORGANA,
Penulis: Leni Marlyna
(pembina penggiat Literasi)
Dalam
365 hari yang baru saja dimulai, seperti mimpi namun nyata, lembaran-lembaran
lama itu sudah tertutup rapi. Begitu pun dengan cerita yang entah sampai kapan
endingnya akan ditemukan, entah itu suka entah itu duka. Kilas balik satu tahun
ke belakang bukan sebuah hal mudah seperti melewati jembatan dengan jarak satu
meter. Namun mengingatnya membutuhkan waktu, waktu untuk tahu dan waktu untuk
mengerti mengapa hal itu terjadi.
Setiap
pagi dengan senang langkah kaki ku berderap, menyusuri setiap koridor sekolah
hingga akhirnya tiba waktu pulang ke rumah. Sebuah singgasana yang sederhana
dengan kehangatan yang nyaman, untuk saat itu dan bukan sekarang. Kalau saja
semua kisah hidup bisa tertuang mungkin buku itu sudah lebih dari sepuluh ribu
lembar dan tak kisahnya bisa dibaca singkat.
Tepat
hari itu, Selasa 24 Januari 2023, hal pahit yang harus ku telan meski nyatanya
sangat sulit. Relung hati ini tak mampu menerima walau nyatanya semesta sedang
tidak bercanda. Sakit? Tentu saja. Rasanya tak mampu ku utarakan meski itu
seluas cakrawala yang membentang. Bukan bermaksud untuk hiperbolis namun
seperti itulah kenyataannya. Jika jarum jam bisa berputar balik tentu akan ada
banyak hal yang ingin ku lakukan, untuk menghindari hal itu meski nyatanya itu
garis hidup yang harus ku tempuh.
Jika
angin bertanya.
“Hai,
kenapa kau murung sedangkan aku berusaha membuatmu nyaman?"
Tak
akan ada kata lain selain berkata bahwa kita baik-baik saja. Kadang berbohong
demi menutupi kesedihan jauh lebih nyaman walau nyatanya amat sesak untuk
ditahan.
...
Sebagian
orang sering menganggapku biasa saja, bukan ingin dianggap pahlawan bahkan
orang penting di dunia ini, hanya ingin mendapat rasa yang cukup ketika hati
ini pilu. Itu saja...
"Kenapa
harus itu? Kenapa tidak yang lain?”
Hati
ku berceloteh. Banyak pertanyaan yang ku pendam, banyak jawaban yang harus ku
tahu, namun itu semua berubah menjadi angin lalu.
Tanpa
sadar air mata yang selama ini membuatku bertahan perlahan tumpah, melewati
pipi indah yang menjadikan ku selalu tersenyum, sakit. Suara ku tersekat, entah
mengapa aku ta mampu untuk berteriak sekencang mungkin. Bahkan aku ingin
teriakanku didengar orang lain walau terkadang harus bersautan dengan gemuruh
petir yang mengantarkan hujan.
Alih-alih
tentang hujan, dia begitu sabar, rela jatuh walau kita tahu itu sakit namun
karenanya banyak orang di dunia ini yang bahagia dengan kehadirannya. Dari hal
itu aku banyak belajar, membuat bahagia orang lain tidak selalu dengan harta
namun hak sederhana yang sulit itu mampu membuat orang bahagia walau kita harus
merasakan sakit.
"Dalam
senja yang indah aku belajar bagaimana caranya berpamitan dengan indah..”
...
Di
menit ke-720 hal pahit itu membuatku sadar tak ada hal yang bisa ku lakukan
selain mengeluarkan titisan-titisan air mata yang enggan berhenti. Tak ada hal
yang harus ku jadikan alasan untuk rapuh meski kenyataanya itu benar-benar
terjadi. Kadang kala aku ingin melawan, aku ingin berteriak sekencang mungkin,
namun itu mustahil.
Aku
selalu berusaha untuk tersenyum namun percayalah, banyak penyesalan yang selalu
berputar di pikiran ini. Menghindarinya sulit, melupakannya enggan, harus
bagaimana?
“Jika hari ini tak bahagia, mungkin besok
bahkan lusa,”